Selasa, 15 Oktober 2013

Redupnya Cahaya Putera Sang Fajar

Jatuhnya Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi “mandat” kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno.
Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu merupakan mandat atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Menurut sumber itu pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang supersemar berkewajiban melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu.
Berikut ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku “Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara,” dimulai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Tanggal 11 Maret 1966
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar, yang isinya antara lain: “Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi.
  1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
  2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
  3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas.”
16 Maret 1966
Pangkopkamtib —atas nama Presiden RI— mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.
27 Maret 1966
Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap kurang dekat dengan Presiden Soekarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik.
21 Juni 1966
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.
22 Juni 1966
Presiden Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.
6 Juli 1966
Sidang MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan, dan satu Resolusi. Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yang menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966
Presiden Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
1-3 Oktober 1966
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka. Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban.
22 Oktober 1966
Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
30 Nopember 1966
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya.
9-12 Desember 1966
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili.
20 Desember 1966
KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI
21 Desember 1966
ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara lain berbunyi butir ke-2), “ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun, Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS.”
31 Desember 1966
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu, khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 tersebut diatas, dan suara serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.
6 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan. Isinya antara lain: “Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah berlangsungnya Sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah timbul berbagai suara dan pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: – Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. – Tuntutan dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966.”
10 Januari 1967
Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya antara lain: “Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G-30.S, maka saya sendiri menyatakan:
  1. G.30.S ada satu “complete overrompeling” bagi saya.
  2. Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata “sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa “Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB”
  3. Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi’radj di Istana Negara j.l., yang antara lain berbunyi:
“Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah “Gestok”"(Gestok: Gerakan Satu Oktober, istilah Soekarno, Red)
10 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato Nawaksara yang diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara tersebut berisikan, antara lain: (a) bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b) Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan Bersenjata”.
20 Januari 1967
MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point besar) antara lain (poin ke-4): “Perlu diterangkan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang sedang kita hadapi, soal Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan kehidupan konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan tindakan-tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR, Presiden Kabinet Khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya…”
21 Januari 1967
Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari tiga butir besar, antara lain (poin II), “Bahwa Presiden alpa memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka Romawi I: “Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang “cabang”. Pidato saya yang saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam “progress-report sukarela” tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu”. Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung-jawab pada MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara saja…” dst.
1 Februari 1967
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, dengan nomor surat R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua) berkas, serta perihal: Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan. Petikan laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain sebagai berikut: “Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk memperoleh bahan gambaran yang selengkap-lengkapnya terhadap PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN harus mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik terhadap peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah penyelesaian yang merupakan kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan pemerintahan negara dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan PRESIDEN, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya.”
9 Februari 1967
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi tentang Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya bulan Maret 1967, serta meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 untuk memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para Wakil Rakyat dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya dalam Sidang Istimewa MPRS.
9 Februari 1967
DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum mengenai Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan Persidangan Istimewa MPRS.
11 Februari 1967
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.
12 Februari 1967
Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu presiden meminta untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.
13 Februari 1967
Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden Soekarno tersebut. Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka sepakat untuk tidak lagi melakukan pertemuan selanjutnya.
16 Februari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./’67 TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa MPRS.
19 Februari 1967
Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.
20 Februari 1967
Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.” Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno.
23 Februari 1967
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR mengeluarkan Resolusi No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta penjelasan terhadap resolusi tersebut.
24 Februari 1967
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya antara lain, mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata akan mengamakan terselenggaranya Sidang Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman Presiden tanggal 20 Februaru 1967.
25 Februari 1967
Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya penyerahan kekuasaan pemerintahan negara oleh Soekarno kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.
7 Maret 1967
MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.
Salam: Soekarno

SAAT BERSEJARAH BAGI BUNG KARNO



 Tanggal 6 Juni 1901 merupakan kelahiran Presiden RI pertama Ir Sukarno. Banyak peristiwa yang mengendap di masing-masing sanubari keluarga dan sahabatnya namun ada 48 hari penting yang memiliki arti penting bagi putera pasangan Ida Ayu Rai Srimben dan Raden Soekemi Sosrodihardjo, terutama untuk bangsanya. Hari-hari tersebut adalah :
6 Juni 1901
Sukarno dilahirkan di Surabaya dari pasangan Singaraja Bali dan Probolinggo Jawa Timur. Setelah pindah sebentar ke Sidoarjo, keluarga Soekemi menetap di Mojokerto, Jawa Timur, dan Sukarno mulai bersekolah di sekolah dasar zaman Belanda hingga kelas lima. Lalu, ia melanjutkan pendidikan ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah Eropa berbahasa
Tahun 1915
Masuk Hoogere Burger School (HBS), sekolah menengah Belanda, dan ikut
di rumah Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam. Di situ, dia berkenalan dengan
tokoh-tokoh senior pergerakan dan memulai proses magang politik.
21 Januari 1921
Artikel Sukarno yang pertama terbit di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam. Sukarno mengawini Oetari Tjokroaminoto–yang menjadi perkawinan pertama Soekarno.
Pertengahan 1921
Kuliah di (Technische Hooge School—Institut Teknologi Bandung).
1923
Menikahi Inggit Garnasih, janda berusia 12 tahun lebih tua dan induk semangnya selama ia kuliah di Bandung.
25 Mei 1926
Mendapatkan gelar insinyur dari THS. Hotel Preanger adalah salah satu karyanya.
Pertengahan 1926:
Ikut mendirikan Klub Studi Umum, Bandung, klub diskusi yang berubah menjadi gerakan politik radikal. Terbit artikelnya yang terkenal: “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”.
4 Juni 1927
Mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung. Pada kongres 1928, gerakan itu memproklamasikan diri sebagai partai, dengan nama baru: Partai Nasional Indonesia.
28 Oktober 1928
Sumpah Pemuda. Berbagai kelompok pemuda menyatakan “memiliki bangsa, bahasa, dan tanah air yang sama: Indonesia.” Lagu kebangsaan Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan.
29 Desember 1929
Sukarno ditangkap bersama tokoh PNI lain dan dijebloskan ke tahanan Penjara Banceuy. Tuduhannya: merencanakan pemberontakan kepada Belanda.
Agustus 1930
Pengadilan Sukarno. Dalam pembelaannya yang amat terkenal, “Indonesia Menggugat”, ia mengecam penjajahan dan menyerukan perlawanan. Untuk pertama kalinya dia memakai istilah “Marhaen” sebagai ganti kaum buruh (proletar).
31 Desember 1931
Hukuman Sukarno dipotong dua tahun dan ia dibebaskan. PNI pecah, Sukarno belakangan memilih masuk Partindo.
1 Agustus 1933
Sukarno ditangkap untuk kedua kalinya.
21 November 1933
Sukarno menyatakan diri keluar dari Partindo.
17 Februari 1934
Sukarno dibuang ke Ende, Flores.
Februari 1938
Pengasingan Sukarno dipindahkan ke Bengkulu.
9 Juli 1942
Sukarno kembali ke Pulau Jawa dan merebut simpati sebagai pemimpin pergerakan Indonesia di zaman Jepang
16 April 1943
Bersama Jepang, Sukarno membentuk Pusat Tenaga R kyat (Putera), yang ternyata dipakai Jepang sebagai pekerja paksa (romusha) dan menjadi propagandis Jepang.
7 September 1943
Penguasa Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia kelak di kemudian hari (tidak ada batas waktu spesifik).
1 Juni 1945
Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sukarno melahirkan istilah Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia. Rapat itu juga menyekapati Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstituti negara Indonesia.
16 Agustus 1945
Sukarno menolak tuntutan pemuda untuk memproklamasikan Indonesia dengan alasan belum mendapat kepastian menyerahnya Jepang dalam perang. Mereka menculik Sukarno dan Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok.
17 Agustus 1945
Proklamasi Indonesia dibacakan Sukarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia.
18 Agustus 1945
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dan menetapkan Sukarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Kelak mereka dikenal dengan Dwi-Tunggal.
3 November 1945
Pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya menyukai terbentuknya partai politik dan mengadopsi sistem parlementer.
14 November 1945
Kabinet pertama yang baru berusia tiga bulan jatuh, digantikan cabinet kedua dengan bentuk parlementer di bawah Perdana Menteri Sjahrir. Sejak saat itu, kabinet selalu jatuh-bangun.
18 September 1948
Pecah pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin Muso, tokoh PKI yang sejak 1920-an mengungsi di Moskow.
27 Desember 1949
Lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Pada Agustus 1950, ia berhasil menyatukan negara dalam negara itu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
17 Oktober 1952
Dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober, ketika sebagian tentara angkatan darat mengarahkan moncong meriamnya ke Istana dan menuntut Sukarno membubarkan parlemen.
18 April 1955
Berlangsung Konferensi Asia Afrika atas prakarsa Bung Karno.
31 Desember 1956
Muhammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI.
21 Februari 1957
Sukarno membekukan sistem demokrasi parlementer yang berlangsung sejak 1950 dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin.
14 Maret 1957
Sukarno memberlakukan keadaan perang dan darurat perang (SOB) akibat banyaknya pemberontakan militer di daerah.
30 November 1957
Terjadi percobaan pembunuhan terhadap Sukarno. Semua pelaku dihukum mati. Para pelaku diidentifikasi sebagai kelompok antikomunis.
5 Juli 1959
Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya membubarkan konstituante (DPR Sementara) dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
17 Agustus 1959
Sukarno memperkenalkan Manifesto Politik yang oleh MPRS dikukuhkan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol memuat lima pokok: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).
30 September 1960
Di depan Majelis Umum PBB, Sukarno menguraikan Pancasila dan perjuangan membebaskan Irian Barat dalam pidato berjudul To Build the World Anew.
1963
Untuk menandingi Olimpiade yang digelar negara-negara Barat, Sukarno menggelar pertandingan olahraga internasional Ganefo (Games of New Emerging Forces) di Senayan, Jakarta, 10-22 November 1963, yang diikuti 48 negara.
3 Mei 1964
Karena kebenciannya kepada kolonialisme Inggris di Asia, Sukarno menyerukan “Ganyang Malaysia”. Indonesia keluar dari PBB dan membentuk Poros Jakarta-Peking.
14 Januari 1965
Partai Komunis Indonesia mulai melancarkan provo-kasi dengan tuntutan untuk mempersenjatai buruh dan tani (angkat-an kelima). Sukarno belum menanggapinya.
26 Mei 1965
Beredar isu “Dokumen Gilchrist” yang menyebutkan adanya dewan jenderal dalam tubuh angkatan bersen-jata untuk mengambil kekuasaan dari Sukarno.
Juli 1965
Sukarno mulai sakit-sakitan dan D.N. Aidit memerintahkan agar biro khusus PKI menyiapkan gerakan mengantisipasi dampak sakitnya Sukarno.
30 September 1965
Penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal AD di Jakarta. PKI, yang memperoleh perlindungan Sukarno, dituding sebagai biang keladinya.
14 Oktober 1965
Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segara embekukan kegiatan PKI dan ormas-ormasnya. Sukarno menolak untuk bertindak tegas terhadap PKI.
11 Maret 1966
Dengan helikopter, Sukarno terbang ke Istana Bogor, setelah mendengar Istana dikepung pasukan tak dikenal. Di sanalah dia menandatangani Supersemar.
20 Juni 1966
Sidang Umum Ke-4 MPRS di Jakarta antara lain menetapkan, jika Presiden berhalangan tetap, pengemban Supersemar, yakni Soeharto, menjadi presiden.
21 Januari 1967
Pidato pertanggungjawaban Sukarno pada 10 Januari, Nawaksara, ditolak MPRS dan DPRGR menyimpulkan ada petunjuk Sukarno terlibat dalam peristiwa 30 September.
22 Februari 1967:
Sukarno diberhentikan dari jabatan presiden dan digantikan Jenderal Soeharto.
21 Juni 1970:
Sukarno wafat di RSPAD Gatot Subroto setelah menderita sakit yang lama di Wisma Yasa Jakarta dan Istana Bogor. Jenazah Sukarno dimakamkan di Blitar. Hingga akhir hayatnya, Sukarno tak pernah diadili karena tuduhan pro- PKI.
Salam Revolusi

Ir. Soekarno



"Apabila didalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkahpun"
[Ir. Soekarno]
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya."
[Ir. Soekarno, Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961]


“Untuk membangun suatu Negara yang Demokratie, maka satu ekonomi yang Merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang Merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita tetap hidup”.
[Ir. Soekarno, Pidato HUT Proklamasi, 1963]
 "Kita bangsa besar, bukan bangsa tempe. kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu di embel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaple tetapi merdeka daripada makan bestik tapi budak"
[Ir. Soekarno, Pidato HUT Proklamasi]

Selasa, 15 Oktober 2013

Redupnya Cahaya Putera Sang Fajar

Jatuhnya Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi “mandat” kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno.
Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu merupakan mandat atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Menurut sumber itu pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang supersemar berkewajiban melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu.
Berikut ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku “Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara,” dimulai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Tanggal 11 Maret 1966
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar, yang isinya antara lain: “Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi.
  1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
  2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
  3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas.”
16 Maret 1966
Pangkopkamtib —atas nama Presiden RI— mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.
27 Maret 1966
Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap kurang dekat dengan Presiden Soekarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik.
21 Juni 1966
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.
22 Juni 1966
Presiden Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.
6 Juli 1966
Sidang MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan, dan satu Resolusi. Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yang menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966
Presiden Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
1-3 Oktober 1966
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka. Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban.
22 Oktober 1966
Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
30 Nopember 1966
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya.
9-12 Desember 1966
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili.
20 Desember 1966
KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI
21 Desember 1966
ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara lain berbunyi butir ke-2), “ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun, Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS.”
31 Desember 1966
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu, khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 tersebut diatas, dan suara serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.
6 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan. Isinya antara lain: “Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah berlangsungnya Sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah timbul berbagai suara dan pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: – Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. – Tuntutan dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966.”
10 Januari 1967
Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya antara lain: “Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G-30.S, maka saya sendiri menyatakan:
  1. G.30.S ada satu “complete overrompeling” bagi saya.
  2. Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata “sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa “Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB”
  3. Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi’radj di Istana Negara j.l., yang antara lain berbunyi:
“Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah “Gestok”"(Gestok: Gerakan Satu Oktober, istilah Soekarno, Red)
10 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato Nawaksara yang diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara tersebut berisikan, antara lain: (a) bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b) Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan Bersenjata”.
20 Januari 1967
MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point besar) antara lain (poin ke-4): “Perlu diterangkan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang sedang kita hadapi, soal Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan kehidupan konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan tindakan-tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR, Presiden Kabinet Khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya…”
21 Januari 1967
Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari tiga butir besar, antara lain (poin II), “Bahwa Presiden alpa memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka Romawi I: “Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang “cabang”. Pidato saya yang saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam “progress-report sukarela” tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu”. Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung-jawab pada MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara saja…” dst.
1 Februari 1967
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, dengan nomor surat R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua) berkas, serta perihal: Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan. Petikan laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain sebagai berikut: “Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk memperoleh bahan gambaran yang selengkap-lengkapnya terhadap PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN harus mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik terhadap peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah penyelesaian yang merupakan kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan pemerintahan negara dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan PRESIDEN, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya.”
9 Februari 1967
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi tentang Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya bulan Maret 1967, serta meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 untuk memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para Wakil Rakyat dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya dalam Sidang Istimewa MPRS.
9 Februari 1967
DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum mengenai Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan Persidangan Istimewa MPRS.
11 Februari 1967
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.
12 Februari 1967
Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu presiden meminta untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.
13 Februari 1967
Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden Soekarno tersebut. Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka sepakat untuk tidak lagi melakukan pertemuan selanjutnya.
16 Februari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./’67 TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa MPRS.
19 Februari 1967
Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.
20 Februari 1967
Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.” Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno.
23 Februari 1967
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR mengeluarkan Resolusi No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta penjelasan terhadap resolusi tersebut.
24 Februari 1967
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya antara lain, mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata akan mengamakan terselenggaranya Sidang Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman Presiden tanggal 20 Februaru 1967.
25 Februari 1967
Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya penyerahan kekuasaan pemerintahan negara oleh Soekarno kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.
7 Maret 1967
MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.
Salam: Soekarno

SAAT BERSEJARAH BAGI BUNG KARNO



 Tanggal 6 Juni 1901 merupakan kelahiran Presiden RI pertama Ir Sukarno. Banyak peristiwa yang mengendap di masing-masing sanubari keluarga dan sahabatnya namun ada 48 hari penting yang memiliki arti penting bagi putera pasangan Ida Ayu Rai Srimben dan Raden Soekemi Sosrodihardjo, terutama untuk bangsanya. Hari-hari tersebut adalah :
6 Juni 1901
Sukarno dilahirkan di Surabaya dari pasangan Singaraja Bali dan Probolinggo Jawa Timur. Setelah pindah sebentar ke Sidoarjo, keluarga Soekemi menetap di Mojokerto, Jawa Timur, dan Sukarno mulai bersekolah di sekolah dasar zaman Belanda hingga kelas lima. Lalu, ia melanjutkan pendidikan ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah Eropa berbahasa
Tahun 1915
Masuk Hoogere Burger School (HBS), sekolah menengah Belanda, dan ikut
di rumah Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam. Di situ, dia berkenalan dengan
tokoh-tokoh senior pergerakan dan memulai proses magang politik.
21 Januari 1921
Artikel Sukarno yang pertama terbit di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam. Sukarno mengawini Oetari Tjokroaminoto–yang menjadi perkawinan pertama Soekarno.
Pertengahan 1921
Kuliah di (Technische Hooge School—Institut Teknologi Bandung).
1923
Menikahi Inggit Garnasih, janda berusia 12 tahun lebih tua dan induk semangnya selama ia kuliah di Bandung.
25 Mei 1926
Mendapatkan gelar insinyur dari THS. Hotel Preanger adalah salah satu karyanya.
Pertengahan 1926:
Ikut mendirikan Klub Studi Umum, Bandung, klub diskusi yang berubah menjadi gerakan politik radikal. Terbit artikelnya yang terkenal: “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”.
4 Juni 1927
Mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung. Pada kongres 1928, gerakan itu memproklamasikan diri sebagai partai, dengan nama baru: Partai Nasional Indonesia.
28 Oktober 1928
Sumpah Pemuda. Berbagai kelompok pemuda menyatakan “memiliki bangsa, bahasa, dan tanah air yang sama: Indonesia.” Lagu kebangsaan Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan.
29 Desember 1929
Sukarno ditangkap bersama tokoh PNI lain dan dijebloskan ke tahanan Penjara Banceuy. Tuduhannya: merencanakan pemberontakan kepada Belanda.
Agustus 1930
Pengadilan Sukarno. Dalam pembelaannya yang amat terkenal, “Indonesia Menggugat”, ia mengecam penjajahan dan menyerukan perlawanan. Untuk pertama kalinya dia memakai istilah “Marhaen” sebagai ganti kaum buruh (proletar).
31 Desember 1931
Hukuman Sukarno dipotong dua tahun dan ia dibebaskan. PNI pecah, Sukarno belakangan memilih masuk Partindo.
1 Agustus 1933
Sukarno ditangkap untuk kedua kalinya.
21 November 1933
Sukarno menyatakan diri keluar dari Partindo.
17 Februari 1934
Sukarno dibuang ke Ende, Flores.
Februari 1938
Pengasingan Sukarno dipindahkan ke Bengkulu.
9 Juli 1942
Sukarno kembali ke Pulau Jawa dan merebut simpati sebagai pemimpin pergerakan Indonesia di zaman Jepang
16 April 1943
Bersama Jepang, Sukarno membentuk Pusat Tenaga R kyat (Putera), yang ternyata dipakai Jepang sebagai pekerja paksa (romusha) dan menjadi propagandis Jepang.
7 September 1943
Penguasa Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia kelak di kemudian hari (tidak ada batas waktu spesifik).
1 Juni 1945
Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sukarno melahirkan istilah Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia. Rapat itu juga menyekapati Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstituti negara Indonesia.
16 Agustus 1945
Sukarno menolak tuntutan pemuda untuk memproklamasikan Indonesia dengan alasan belum mendapat kepastian menyerahnya Jepang dalam perang. Mereka menculik Sukarno dan Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok.
17 Agustus 1945
Proklamasi Indonesia dibacakan Sukarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia.
18 Agustus 1945
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dan menetapkan Sukarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Kelak mereka dikenal dengan Dwi-Tunggal.
3 November 1945
Pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya menyukai terbentuknya partai politik dan mengadopsi sistem parlementer.
14 November 1945
Kabinet pertama yang baru berusia tiga bulan jatuh, digantikan cabinet kedua dengan bentuk parlementer di bawah Perdana Menteri Sjahrir. Sejak saat itu, kabinet selalu jatuh-bangun.
18 September 1948
Pecah pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin Muso, tokoh PKI yang sejak 1920-an mengungsi di Moskow.
27 Desember 1949
Lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Pada Agustus 1950, ia berhasil menyatukan negara dalam negara itu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
17 Oktober 1952
Dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober, ketika sebagian tentara angkatan darat mengarahkan moncong meriamnya ke Istana dan menuntut Sukarno membubarkan parlemen.
18 April 1955
Berlangsung Konferensi Asia Afrika atas prakarsa Bung Karno.
31 Desember 1956
Muhammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI.
21 Februari 1957
Sukarno membekukan sistem demokrasi parlementer yang berlangsung sejak 1950 dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin.
14 Maret 1957
Sukarno memberlakukan keadaan perang dan darurat perang (SOB) akibat banyaknya pemberontakan militer di daerah.
30 November 1957
Terjadi percobaan pembunuhan terhadap Sukarno. Semua pelaku dihukum mati. Para pelaku diidentifikasi sebagai kelompok antikomunis.
5 Juli 1959
Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya membubarkan konstituante (DPR Sementara) dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
17 Agustus 1959
Sukarno memperkenalkan Manifesto Politik yang oleh MPRS dikukuhkan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol memuat lima pokok: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).
30 September 1960
Di depan Majelis Umum PBB, Sukarno menguraikan Pancasila dan perjuangan membebaskan Irian Barat dalam pidato berjudul To Build the World Anew.
1963
Untuk menandingi Olimpiade yang digelar negara-negara Barat, Sukarno menggelar pertandingan olahraga internasional Ganefo (Games of New Emerging Forces) di Senayan, Jakarta, 10-22 November 1963, yang diikuti 48 negara.
3 Mei 1964
Karena kebenciannya kepada kolonialisme Inggris di Asia, Sukarno menyerukan “Ganyang Malaysia”. Indonesia keluar dari PBB dan membentuk Poros Jakarta-Peking.
14 Januari 1965
Partai Komunis Indonesia mulai melancarkan provo-kasi dengan tuntutan untuk mempersenjatai buruh dan tani (angkat-an kelima). Sukarno belum menanggapinya.
26 Mei 1965
Beredar isu “Dokumen Gilchrist” yang menyebutkan adanya dewan jenderal dalam tubuh angkatan bersen-jata untuk mengambil kekuasaan dari Sukarno.
Juli 1965
Sukarno mulai sakit-sakitan dan D.N. Aidit memerintahkan agar biro khusus PKI menyiapkan gerakan mengantisipasi dampak sakitnya Sukarno.
30 September 1965
Penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal AD di Jakarta. PKI, yang memperoleh perlindungan Sukarno, dituding sebagai biang keladinya.
14 Oktober 1965
Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segara embekukan kegiatan PKI dan ormas-ormasnya. Sukarno menolak untuk bertindak tegas terhadap PKI.
11 Maret 1966
Dengan helikopter, Sukarno terbang ke Istana Bogor, setelah mendengar Istana dikepung pasukan tak dikenal. Di sanalah dia menandatangani Supersemar.
20 Juni 1966
Sidang Umum Ke-4 MPRS di Jakarta antara lain menetapkan, jika Presiden berhalangan tetap, pengemban Supersemar, yakni Soeharto, menjadi presiden.
21 Januari 1967
Pidato pertanggungjawaban Sukarno pada 10 Januari, Nawaksara, ditolak MPRS dan DPRGR menyimpulkan ada petunjuk Sukarno terlibat dalam peristiwa 30 September.
22 Februari 1967:
Sukarno diberhentikan dari jabatan presiden dan digantikan Jenderal Soeharto.
21 Juni 1970:
Sukarno wafat di RSPAD Gatot Subroto setelah menderita sakit yang lama di Wisma Yasa Jakarta dan Istana Bogor. Jenazah Sukarno dimakamkan di Blitar. Hingga akhir hayatnya, Sukarno tak pernah diadili karena tuduhan pro- PKI.
Salam Revolusi

Ir. Soekarno



"Apabila didalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkahpun"
[Ir. Soekarno]
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya."
[Ir. Soekarno, Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961]


“Untuk membangun suatu Negara yang Demokratie, maka satu ekonomi yang Merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang Merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita tetap hidup”.
[Ir. Soekarno, Pidato HUT Proklamasi, 1963]
 "Kita bangsa besar, bukan bangsa tempe. kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu di embel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaple tetapi merdeka daripada makan bestik tapi budak"
[Ir. Soekarno, Pidato HUT Proklamasi]